Wisuda tahun kelulusan 2017 sudah
dilaksanakan 2 kali di kampus gue, pertama tanggal 9 september, dan yang kedua
tanggal 14 oktober kemarin. Melihat senyum gembira dan bangga teman seperjuangan
dari semester awal yang sudah melangsungkan wisudanya bikin gue ikut bahagia
dan sedih secara bersamaan. Gue bahagia melihat satu-persatu teman gue akhirnya
bisa wisuda, bisa membuat orang tua mereka bangga hadir dalam acara wisuda. Tapi
gue juga sedih, sangat sedih kenapa gue gak bisa ikut mereka wisuda bareng.
Ketika teman gue sekarang sudah banyak
dapat kerjaan baru, memulai kehidupan baru, gue masih stuck di dalam kamar kost
yang sudah lama bahkan gak gue ingat kapan terakhir kali gue bersihkan, sampah,
debu, sarang laba-laba menumpuk dimana-mana. Gue bahkan gak tau harus bagaimana
lagi dengan nasib skripsi gue yang terkatung-katung tanpa kejelasan, terlalu
kenyang akan janji manis dosen pembimbing.
Padahal jika dipikir secara rasional,
gue skripsi sudah selesai seminar proposal, yang mana tinggal penelitian, olah
data, ambil kesimpulan, selesai, udah gitu doang. Tapi kenyataannya gak semudah
itu men, gue masih disibukkan dengan urusan bimbingan yang belum selesai,
bolak-balik perpustakaan yang setiap kali tanpa hasil, bahkan gue nyari
referensi buat skripsi gue di pascasarjana yang hasilnya juga sama, referensi
yang due dapet masih kurang lengkap. Entah karena judul yang gue ambil ini
terlalu sulit, atau emang gue aja yang tidak bisa memahami ini. Referensi yang
ada di kampus gue hanya ada 3 judul skripsi, dan 1 tesis. Dan itu sama sekali
tidak membantu, buku juga tidak banyak membantu.
“just because you take longer than others, doesn’t mean you failed”
Hanya kata-kata itu yang bikin gue selalu bersemangat untuk tetap berusaha menyelesaikan kuliah ini semampu gue. Untuk mengisi waktu luang, gue menyibukkan diri dengan nulis buku yang harapannya suatu saat bisa terbit, gambar vector, juga rutin baca quote agar gue kuat menghadapi pertanyaan kurang ajar yang sudah mulai sering ditanyakan. “KAPAN LULUS?”. Mulai dari orang tua tiap hari sms nanyain kabar kuliah, saudara di group whatsapp yang kalau nanya frontal gak ketulungan, pacar yang mulai was-was, teman seperjuangan juga nanya. Walaupun pertanyaan kurang ajar itu sangat nyebelin, tapi ketika gue jawab “tar sore kalo perut gak sakit”, mereka masih bisa memaklumi dan sedikit memberi saran, memberi semangat.
Candaan “kapan lulus?” gue kira pas jadi
maba dulu emang lucu, dan bagi gue mahasiswa tua yang merasa sakit hatinya
akibat pertanyaan itu cuma akting belaka. Bahkan banyak di sosial media yang selalu
saja post “kapan lulus?”. Tetapi saat gue yang ngalami, ternyata perih men, apa
yang mereka alami terjadi juga pada gue saat ini. Gue jadi tahu bagaimana rasa
sakitnya yang selama ini dirasakan jutaan mahasiswa yang telat lulus. So, please stop this shit guys, isn’t funny
at all!.
Selain pertanyaan “kapan lulus?” yang
sudah bikin sakit hati, ternyata ada pernyataan yang lebih menyakitkan. Pernyataan
yang keluar dari mulut orang baru lulus. Jadi beberapa hari yang lalu ada orang
yang baru wisuda, dengan bangganya dia bilang “kuliah itu ya harus lulus cepat,
IPK harus tinggi juga”. Pernyataan tersebut memang benar untuk sebagian
kalangan, tetapi bagi gue enggak, gue punya pernyataan lain.
“Kuliah itu bukan sekedar mengejar agar cepat lulus, atau bersaing mengejar IPK paling tinggi. Kuliah itu bagaimana diri kita bisa menjalaninya dengan penuh tanggung jawab dan raih versi terbaik menurut diri kita sendiri”
Entah mau lulus cepet, entah mau bersaing untuk dapat IKP tinggi, itu terserah pada masing-masing diri kalian sendiri. Jangan sesekali menyamaratakan setiap pemikiran orang dengan versimu sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana kalian bisa bertanggung jawab atas semua hal yang telah kalian jalani saat kuliah. Tanggung jawab atas nilai masing-masing mata kuliah, atas keaslian hasil karya, dan atas IPK yang kita dapat.
Dody Soerja